Monday, December 22, 2008

Pondasi Matematika: Dari Plato sampai Godel

Oleh: Marsigit
Jika kita berkehendak melakukan kajian atau penelitian matematika secara mendalam maka kita tidak bisa terhindar untuk melakukan sintesis-sintesis dari tesis-tesis yang ada dengan cara memproduksi antitesis-antitesisnya. Dalam sejarahnya, Aristoteles tidak sependapat dengan gurunya Plato dalam prinsip-prinsip filsafat; namun demikian jika ditilik lebih lanjut sebetulnya silang pendapat juga meliputi bidang matematika. Menurut Aristoteles, form bukanlah entitas yang terpisah dengan data empiris. Menurutnya jika kita memikirkan suatu benda tidaklah berarti bahwa konsep benda tadi akan terpisah dengan benda tadi. Menurut Aristoteles, matematika adalah idealisasi dari benda-benda; dengan melakukan idealisasi kita dapat membuat definisi, menemukan struktur matematika, menemukan logika, menemukan teorema, dan melakukan hipotesis. Jika matematika bersifat given yang sudah ada di dalam ide kita maka implikasi pandanga Plato adalah bahwa matematika bersifat aktual. Seperti kita ketahui bahwa bilangan infinit, di satu sisi dapat dipandang sebagai aktual tetapi juga dapat dipandang sebagai potensial. Pandangan yang terakhir ini kemudian ditolak oleh Brouwer sebagai kaum intuisionis untuk mengembangkan matematika intuisionisme. Menurut Brouwer di dalam mengembangkan matematika kita harus menggunakan intuisi kita, sayangnya intuisi dan pengalaman kita tidak dapat menjangkau bilangan infinit. Itulah sebabnya kaum intuisionis hanya mengembangkan matematika untuk bilangan-bilangan finit atau berhingga dan menolak bilangan infinit atau bilangan tak hingga. Selanjutnya Heyting sebagai penerus Brouwer menolak kenyataan transenden sebagai alat bukti matematika. Menurutnya, bilangan infinit merupakan salah satu kenyataan transenden.
Pandangan umum setuju bahwa kebenaran matematika merupakan kebenaran yang bersifat bersyarat “necessary truth”. Tetapi hal demikian tidak mudah kita wujudkan untuk menunjukkan kebenaran konsep-konsep bilangan tak hingga atau infinit? Bagaimana manusia yang bersifat serba terbatas mampu memikirkan hal-hal yang bersifat tak terbatas? Ada paling tidak dua pandangan bagaimana memperoleh kebanaran matematika, pertama kebenaran matematika diperoleh murni menggunakan akal pikiran, kedua kebenaran matematika diperoleh berdasarkan pengalaman. Sudah sejak lama kaum rasionalis yang dipelopori oleh Rene Descartes dan Leibniz berpendapat bahwa konsep matematika bersifat melekat “innate” pada pikiran kita; sementara John Locke dan David Hume berpendapat bahwa pengetahuan matematika diturunkan berdasarkan pengalaman inderawi. Pandangan John Locke dan David Hume diteruskan oleh John Stuart Mill sebagai seorang empiris yang berpandangan bahwa pemahaman matematika diperoleh dari pengalaman dan kebenaran matematika diperoleh dengan melakukan generalisasi kegiatan penemuan konsep-konsep empiris. Di sisi lain dengan ditemukannya Geometri non-Euclides telah membuka cakrawala para matematisi dan para filsuf untuk mengevauasi kembali konsep geometri Euclides; dalam mana telah diakui selama lebih dari 2000 tahun bahwa geometri Euclides dianggap sebagai representasi alam semesta. Dalam hal tertentu kebenaran dan pembenaran pada geometri Euclides selaras dengan apa yang di perjuangkan Mill; namun penemuan geometri non_Euclides telah menyebabkan konsep Mill dan empirisisme pun kembali dipertanyakan.
Di dalam filsafat matematika, adanya pertentangan antara kaum rasionalis dan kaum empiris menimbulkan pengakuan mendalam akan sintesis Immanuel Kant bahwa matematika adalah ilmu yang bersifat sintetik a priori. Pengetahuan matematika di satu sisi bersifat “subserve” yaitu hasil dari sistesis pengalaman inderawi; di sisi yang lain matematika bersifat “superserve” yaitu pengetahuan a priori sebagai hasil dari konsep matematika yang bersifat immanen dikarenakan didalam pikiran kita sudah terdapat kategori-kategori yang memungkinkan kita dapat memahami matematika tersebut. Namun krisis pondasi matematika tidak berhenti sampai di sini. Pada akhir abad ke 19 Cantor menemukan dan mengembangkan teori himpunan. Di dalam pengembangan teori himpunan tersebut Cantor menghadapi persoalan paradoks matematika, yang menambah panjang deretan krisis di dalam pondasi matematika. Pada awal abad ke 20, karya besar telah dicapai oleh para filsuf dan matematisi dengan diletakkannya logika sebagai pondamen matematika. Sampai akhirnya ditemukan pula paradoks dari logika; sehingga hal yang demikian menggagalkan usaha Hilbert untuk membangun matematika sebagai suatu sistem di atas satu pondasi yang kokoh. Adalah muridnya sendiri Kurt Godel yang berhasil menyimpulkan bahwa jika sistem matematika bersifat lengkap maka dia pasti tidak konsisten; dan jika sistem matematika konsisten maka dia tidak akan bisa lengkap. Era filsafat kontemporer telah mendorong para filsuf dan matematisi untuk melihat kenyataan bahwa matematika bersifat multi-facet.

9 comments:

mufarikhin said...

ikhtilaafu ummati rohmatun...
perbedaan umat adalah rahmat. perbedaan adalah hal biasa karena kita lahir ke dunia juga dengan membawa perbedaan-perbedaan.justru perbedaan akan memperkaya khasanah, perbedaan akan membawa pada pengembangan dan perkembangan, perbedaan akan menuju pada titik-titik persamaan. sintesa diperoleh karena adanya perbedaan-perbedaan itu.

http://marsigitphilosophy.blogspot.com/ said...

Ya Pak Mufarikhin. Secara epistemologis, perbedaan adalah sumber ilmu, mengapa? Karena perbedaan berarti "sintetik". Jika A berbeda dengan B maka kita akan bertanya perbedaan macam apa antara A dan B. Menjawab pertanyaan itulah sebagai "ilmu". Sedangkan mengenai "sama" artinya A sama dengan A. Secara filsafati kita tidak dapat mengatakan bahwa A sama dengan B, karena nyata-nyata bahwa A memang tidak sama dengan B. Jadi A sama dengan A dalam filsafat disebut sebagai hukum Identitas, tetapi darinya kita tidak akan mendapat informasi apa-apa. Secara epistemologis, itulah yang disebut sebagai "analitik" (Dosen: Dr. Marsigit)

upy said...
This comment has been removed by the author.
upy said...
This comment has been removed by the author.
upy said...

Prinsip Differensial di dalam suatu keilmuan itu adalah hal yang sangat hakiki sebagaimana adanya hukum probabilitas akan memungkinkan adanya alternative – alternative pilihan itu menandakan bahwa dari masing – masing pilihan tentu memiliki alasan – alasan yang membedakannya. Perbedaan pendapat tentang teori matematika dari para matematisi maupun filsuf yang telah bapak tulis didalam blog seperti pertentangan guru dan muridnya Aristoteles tidak sependapat dengan gurunya Plato dalam prinsip-prinsip filsafat. Atau pandangan para matemtisi lain dikarenakan para matematisi itu mempunyai pengalaman atau empiris yamg sangat dipengaruhi oleh perbedaan
1. kurun waktu
2. peradaban
3. teknologi
4. dan lain sebagainya
Yang semuannya itu akan bersifat melengkapi tidak semata – mata adanya resistensi sehingga teori matematika akan selalu berkembang seiring dengan dinamika ( kurun waktu, peradaban, teknologi, dan lain sebagainya ).
Dan suatu saat ada teori matematika yang ditemukan oleh Prof. Marsigit yang mengatakan bahwa,“ilmu matematika adalah hakekat dari sebuah dzikir”.Itu misalnya, lho pak.

Anggar Mubasar said...

Mempelajari filsafat, memang menarik, terutama filsafat pendidikan. 0 (nol) dalam matematika adalah kosong atau nihil/tidak ada. tetapi dalam filsafat, 0 nol atau kosong itu ada, adanya yang kosong, jadi dalam filsat ada dan tidak itu terdiri dari dua macam, nol itu sendiri dan tidak ada. Sama seperti 1 + 1 = 2. dalam filsafat 1 + 1 = tak terhingga. Jika kita kaitakan dengan orang berpendapat, masing-masing orang mempunyai pendapat sendiri. Semakin banyak orang semakin banyak perbedaan. Jika kita kaitkan dengan siswa, masing-masing anak mempunyai kemampuan, bakat yang berbeda. jadi kita harus mengetahui bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga kita bisa merancang cara mengajar dengan baik sesuai dengan kemampuan dan bakat perserta didik.
demikian pendapat saya, lain waktu disambung: Siti Khomsatun, Gombong, Jawatengah.

Siti Khomsatun said...

Maaf, Pak, Kakak saya salah kirim. Sekarang saya bisa sendiri..
Mempelajari filsafat, memang menarik, terutama filsafat pendidikan. 0 (nol) dalam matematika adalah kosong atau nihil/tidak ada. tetapi dalam filsafat, 0 nol atau kosong itu ada, adanya yang kosong, jadi dalam filsat ada dan tidak itu terdiri dari dua macam, nol itu sendiri dan tidak ada. Sama seperti 1 + 1 = 2. dalam filsafat 1 + 1 = tak terhingga. Jika kita kaitakan dengan orang berpendapat, masing-masing orang mempunyai pendapat sendiri. Semakin banyak orang semakin banyak perbedaan. Jika kita kaitkan dengan siswa, masing-masing anak mempunyai kemampuan, bakat yang berbeda. jadi kita harus mengetahui bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga kita bisa merancang cara mengajar dengan baik sesuai dengan kemampuan dan bakat perserta didik.
demikian pendapat saya, lain waktu disambung: Siti Khomsatun, No 07412039 Univ. PGRI Yogya.

Kawit Sayoto said...

Saya lebih tertarik dengan kata "mengembangkan matematika". Mungkin sampai semester ini saya belajar saya pribadi menganggap saya hanya mempelajari sesuatu tang telah ada (mitos) yang belum semuanya saya bisa selesaikan pembuktiannya. Namun didalam filsafat barulah kami merasakan sebuah tantangan bahwa satu kata saja mampu ditarik akar-akar masalah dari kata tersebut yang menurut saya ketika saya mengatakan garis saja berarti 'masih banyak garis garis dan asal mula garis yang dapat saya jadikan kajian untuk olah pikir' terima kasih. Kawit Sayoto

DAFID SLAMET SETIANA said...

Matematika lahir dari kebutuhan manusia untuk mempermudah dalam menjalani hidupnya. Memang benar adanya matematika seperti bunglon yang mampu beradaptasi di mana pun ia berada. Saat matematika di kantor, di rumah, di puncak gunung maupun di dasar samudra tetap saja matematika berkolaborasi dengan lingkungannya dengan bermacam-macan rupa. Matematika adalah pondasi dari ilmu-ilmu yang lain, sedang pondasi matematika adalah lingkungan hidup dengan ruang dan waktu yang berbeda-beda.