Wednesday, December 3, 2008

GERAKAN REFORMASI UNTUK MENGGALI DAN MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MATEMATIKA UNTUK MENGGAPAI KEMBALI NILAI-NILAI LUHUR BANGSA MENUJU STANDAR INTERNASIONA

GERAKAN REFORMASI UNTUK MENGGALI DAN MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI MATEMATIKA UNTUK MENGGAPAI KEMBALI NILAI-NILAI LUHUR BANGSA MENUJU STANDAR INTERNASIONAL PENDIDIKAN
Oleh : Dr. Marsigit, M.A.
Disampaikan pada Seminar Bertema: Nilai Luhur Bangsa dan Pembelajaran Matematika di Sekolah dalam Menuju Standarisasi Sekolah Nasional dan Bertaraf Internasional, FMIPA UNY, Minggu 30 Nopember 2008

A. Pendahuluan

Memasuki milenium ke-3 bangsa Indonesia diwarnai dengan era reformasi di segala bidang kehidupan, yang merupakan masa-masa sulit sebagai akibat krisis ekonomi yang parah. Fenomena yang muncul dari krisis yang berkepanjangan menunjukkan perubahan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, hukum dan juga pendidikan. Bahkan ditengarai munculnya krisis ekonomi kedua yang akibatnya bisa lebih parah dari krisis ekonomi pertama. Pergaulan global yang tanpa batas atau yang berbatas? Siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri? Siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai? Apanya yang berubah dan apanya yang tetap? Masih tersisakah idealisme atau semakin merajalelanya pragmatisme dan budaya instant? Masih relevankan nilai-nilai lama dan sudah layakkah nilai-nilai baru? Hidup ini masihkah berpengharapan ataukah telah mengkhawatirkan? Ataukah yang lama yang enggan tetapi yang baru ternyata membosankan? Nilai lokal yang mana dan yang bagaimana? Nilai global yang mana dan yang bagimana? Nilai-nilai kebangsaan yang mana yang masih bisa dibanggakan? Bagaimana nilai spiritual kita? Apakah kemudian yang disebut dengan geopolitik, geostrategi, dan geo-geo yang lainnya misalnya geofilsafat, geopsikologi, geobudaya?
Kiranya, sudahlah cukup fakta-fakta yang menunjukkan bahwa memang sudah saatnyalah bangsa Indonesia menguji kembali paradigma pembangunan. Pendidikan dapat memberikan landasan bagi pengembangan nilai-nilai luhur terhadap reformasi bidang hukum, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Dengan demikian reformasi di bidang pendidikan merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar. Era reformasi sekaligus memberi harapan, tantangan dan kesempatan; namun berbagai kalangan masih mempertanyakan harapan, tantangan dan kesempatan apa bagi dunia pendidikan kita dalam melakukan reformasi. Hal demikian patut kiranya di sadari oleh semua pihak yang terpanggil untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Di tengah hiruk-pikuknya tuntutan reformasi, berbagai isu mendasar secara makro dari dunia pendidikan muncul kepermukaan termasuk pemberantasan KKN, peningkatan mutu, desentralisasi dan otonomi pendidikan, peraturan perundang-undangan, pemberdayaan dan partisipasi, paradigma.
Narasi besar apa sebetulnya yang sedang menimpa kita bersama? Atau barang kali dan jangan-jangan kita ini yaitu pendidik dan pendidikan yang menjadi biang dari segala krisis yang ada? Pertanyaan mengagetkan tentunya tetapi refleksi tentang apa dan bagaimana seyogyanya yang perlu kita lakukan dalam lingkup pendidikan, pendidikan matematika atau matematika itu sendiri? Ditengah-tengah krisis dan kebingungan luar biasa muncullah seorang tua renta dan berkata “Selama kamu merasa bisa mengenal dirimu selama itu pula sebetulnya kamu belum mengenal dirimu, bukankah tidak bisa mengenal dirimu sendiri merupakan keadaan dimana kamu perlu mengenal dirimu sendiri. Selama kamu merasa bisa menunjuk dunia, sebenarnya kamu belum paham dunia bukankah dunia ada dalam pikiranmu sendiri. Jadi mengetahui pikiran sendiri sama sulitnya dengan mengetahui dunia, dan batas-batas dunia tidak lain adalah batas-batas pikiranmu. Itulah sebenar-benar ilmu, yaitu batas pikiranmu. Hidup adalah menterjemahkan dan diterjemahkan, apa yang bisa dibanggakan dari masa lampaumu? apa yang sedang kamu kerjakan? dan bagaimana kamu menyiapkan masa depanmu?”

B. Reformasi di segala bidang masihkah diperlukan?

Gerakan reformasi di Indonesia merupakan antiklimaks dari suatu keadaan dimana nilai-nilai moral dibidang politik, hukum, sosial, ekonomi mengalami kemerosotan yang sangat tajam dalam suatu kurun waktu lebih dari tiga dekade. Ketidakberdayaan masyarakat dalam berbagai aspek merupakan implikasi langsung dari pembelokan arah pembangunan yang menjadikan rakyat hanya sebagai obyek dan bukan sebagai subyek. Masyarakat dan bangsa Indonesia yang kini sedang memasuki era milenium ke-3 menghadapi tantangan yang cukup berat disegala aspek kehidupan. Berbagai peristiwa yang terjadi 2 (dua) tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian dari komponen bangsa belum siap menghadapi era globalisasi, sebagian yang lain melakukan eksperimen-eksperimen yang terkadang membawa implikasi ganda ke keadaan yang lebih buruk; namun yang tidak lebih baik adalah bahwa sebagian dari kita ternyata tidak mengetahui akan ke manakah bangsa kita menuju ? Sementara itu krisis moneter berkepanjangan yang dihadapi bangsa Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan yang dicanangkan selama orde baru telah mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, bahkan budaya termasuk pendidikan. Berbagai laporan menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah sangat berdampak buruk terhadap kinerja pendidikan kita; angka putus sekolah semakin tinggi, tingkat partisipasi pendidikan semakin menurun, dan kemampuan orang tua untuk ikut menyediakan fasilitas dan sumber ajar (buku) juga semakin menurun.

1. Reformasi pendidikan sudahkah cukup?

Secara makro, gambaran sistem pendidikan masih menunjukkan ciri-ciri sentralisme yang kaku, dengan dominasi birokrasi yang sangat kuat, sehingga di setiap jenjang pendidikan terjadi stagnasi atau kemandegan. Kreativitas atau improvisasi kearah inovasi sangat sulit dilakukan kerena sistem penyelenggaraan pendidikan nasional cenderung menuruti garis petunjuk dari atas. Sistem pendidikan kita dewasa ini juga masih bersifat tertutup sehingga menyuburkan praktek-praktek korupsi dan kolusi; hal demikian ditandai dengan adanya penempatan pejabat kependidikan tidak berdasar atas profesionalisme dan latar belakang pendidikan melainkan berdasarkan atas kolusi. Di sisi lain, berbagai laporan pendidikan dari dalam maupun luar negeri secara implisit menyebutkan tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan. Indonesia hanya berada di urutan ke –105 dari 174 negara dalam hal PEMBENGUNAN MANUSIA-nya, berada di bawah Singapura (22), Brunei (25), Malaysia (56); sementara Indonesia hanya berada pada urutan ke-37 dari 59 negara dalam hal DAYA SAING, berada di bawah Singapura (1), Malaysia (16), dan Thailand (30) (Tilaar, 1999:hal 183). Jika hal demikian dibiarkan terus-menerus tidak mustahil sistem pandidikan kita lambat laun tetapi pasti, akan menjadi sistem pembodohan masyarakat.
Secara mikro, praktek kependidikan di Indonesia masih bertumpu kepada peran guru sebagi ujung tombak pemerintah dalam melaksanakan kebijakan kependidikannya. Namun pentingnya peran guru belum diimbangi oleh kesadaran pemerintah untuk memberdayakannya. Dalam posisi dibutuhkan tetapi tidak diperhatikan itulah maka sebagian guru kita mengalami stagnasi yaitu tidak mampu mengembangkan kreativitas mengajarnya karena tidak terdapat ruang untuk itu. Penelitian yang penulis lakukan di sekolah-sekolah (Marsigit, 1996) menunjukkan bahwa guru lebih suka menerapkan metode pembelajaran sesuai petunjuk Kepala Sekolah, Penilik Sekolah atau Pengawas daripada bereksperimen atau mencoba berbagai cara lain; karena hal demikain lebih memberi rasa aman dan tenang bagi mereka. Dengan demikian mudahlah dipahami mengapa setiap usaha inovatif kependidikan yang disponsori perguruan tinggi tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berbagai teori dan pengalaman mengajar yang diperoleh melalui penataran, kepelatihan dan studi lanjut di perguruan tinggi, tidak pernah dapat dipraktekan di sekolah; para guru akan kembali mengajar seperti semula ketika mereka kembali ke sekolah.
Sementara itu, secara filosofis, terdapat tesis bahwa pendidikan dapat memberikan landasan bagi nilai-nilai luhur politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya sehingga dapat dicapai suatu tata nilai baru yang terbuka, dinamis, dan demokratis. Seiring dengan reformasi disegala aspek kehidupan, maka mengingat tesis tersebut dan memperhatikan kondisi faktual di setiap jenjang kependidikan, adalah mutlak kiranya bagi bangsa Indonesia dewasa ini untuk menjadikan reformasi pendidikan sebagai salah satu agenda reformasi nasional. Gerakan reformasi pada hakekatnya adalah pergulatan antara ‘kemapanan’ dan ‘perubahan’ yang melibatkan unsur-unsur yang sangat kompleks dengan akibat-akibat yang terkadang sulit diduga. Levin (1976) dalam Fullan (1992:17) menyatakan bahwa paling sedikit ada 3 (tiga) faktor utama suatu reformasi dapat terjadi : (1) faktor bencana, yang dapat berupa bencana alam seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, kelaparan, dsb., (2) pengaruh teknologi informasi , (3) dan adanya konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan diantara komponen masyarakat.. Siapa yang menang sulit diperkirakan. Akan terjadi konflik dan pertentangan-pertentangan. Namun yang menarik adalah perubahan justru dihasilkan dari konflik dan tekanan. Jika yang dikehendaki adalah reformasi damai maka permasalahannya adalah seberapa jauh pihak-pihak yang terlibat mampu mengatasi perbedaan pendapat dan mencari solusinya. Elwyn Thomas (1995) menyebutkan bahwa reformasi pendidikan dapat terjadi oleh paling tidak 4 (empat) sebab yaitu : keadaan sosial politik, ekonomi, budaya dan perkembangan sain dan teknologi. Keadaan sosial politik suatu negara akan memberi corak warna kepada sistem pemerintahan dan sistem pendidikan yang ada. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan kurikulum misalnya akan sangat memberi warna pada praktek-praktek pembelajaran di sekolah-sekolah.
Reformasi pendidikan akan terwujud jika reformasi politik menghasilkan fase pemerintahan yang mampu menyerap aspirasi dan mampu melakukan koreksi diri sehingga terdapat dorongan untuk melakukan restrukturisasi sistem pendidikan dan mengimplementasikan ideal-ideal pendidikan. Sarason (1990) dalam Fullan, (1992: 27) menyatakan bahwa reformasi pendidikan merupakan bagian dari reformasi politik. Masalahnya ialah seberapa jauh para stake-holder dalam pendidikan kita mampu menerobos ke jalur politik dan birokrat. Atau sebaliknya seberapa jauh para politisi dan birokrat kita peduli terhadap dunia pendidikan. Mengingat budaya Indonesia adalah budaya timur, dimana aktivitas sosial selalu diukur dengan strata sosialnya dimana secara implisit tersembunyi unsur ‘kuasa’ /’power’/ ’kontrol’ bagi yang di atas terhadap yang di bawah maka telah terbukti betapa sulitnya mewujudkan reformasi yang dipelopori dari bawah (Dunbar, 1996).
. Sementara menurut Fullan (1991), makna reformasi pendidikan meliputi dua hal; pertama, reformasi sebagai usaha untuk mengintensifkan sistem dan; kedua, reformasi sebagai usaha untuk melakukan restrukturisasi. Usaha mengintensifkan sistem dapat berupa pembenahan kurikulum, sistem produksi buku pelajaran, metode mengajar, sistem evaluasi dan pemanfaatan sumber-sumber ajar/belajar. Sedangkan restrukturisasi dapat menyangkut aspek management pendidikan, peningkatan peran guru dalam pengambilan kebijakan pendidikan, memperbaharui visi dan persepsi pendidikan, peningkatan keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan, pengembangan sistem in-service training bagi para guru, sistem administrasi dan peningkatan peran siswa. Di sisi lain, Bowles dan Gintis, (1976) dalam Fullan (1991) menyatakan bahwa reformasi pendidikan seharusnya mampu menjawab seberapa jauh sistem yang ada mampu menyiapkan fasilitas pendidikan secara efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, agar dicapai tujuan pendidikan yang meliputi paling sedikit dua hal yaitu : mendidik subyek didik dengan berbagai kemampuan akademik, ketrampilan atau pengetahuan; dan, mengembangkan segenap potensi yang dimiliki oleh subjek didik. Jika reformasi pendidikan diberi makna sebagai usaha melakukan inovasi pendidikan maka faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi : keberadaan dan kualitas dari inovasi itu sendiri, dampak inovasi, peran pemerintah, peran guru, peran masyarakat dan kebijakan pendidikan. Dalam hal ini, terjadinya inovasi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan, kesiapan dan sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan kepribadian subyek didik. Dalam jangka pendek, pendidikan berarti proses belajar mengajar di kelas; dalam jangka menengah pendidikan berarti pengembangan subyek didik seutuhnya; dan dalam jangka panjang pendidikan merupakan fenomena kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai moral, estetis dan budaya. Reformasi pendidikan menuju Indonesia Baru hendaknya mampu melihat keseluruhan dari konteks di atas sehingga mampu memberikan angin segar dan cakrawala baru bagi seluruh komponen kependidikan. Masalah yang paling mendasar dalam reformasi pendidikan di Indonesia adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan tidaklah mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa makna reformasi dan bagaimana reformasi pasti dilakukan. Jika demikian maka kita mudah terjebak kepada pemberian makna dan arah reformasi kepada hal-hal yang bersifat teknis belaka. Agar gerakan reformasi di Indonesia dapat melihat keperluan di masa depan dan menghentikan kebijakan salah urus dan penyelewengan kekuasaan secara sewenang-wenang maka perlu diadakan suatu perombakan secara menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam semua aspek termasuk pendidikan. Reformasi Pendidikan Nasional hendaknya mampu merefleksikan keadaan masa lampau, sekarang dan akan datang. Masa lampau dan sekarang dari Pendidikan Nasional kita telah terperangkap ke dalam system kehidupan yang opresif sehingga telah terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan otoriter dan memperbodoh rakyat banyak (Tilaar, 1999: 17). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sesuai dengan asas sentralisme, maka penyelenggaraan pendidikan nasional cenderung menuruti garis petunjuk dari atas atau indoktrinasi; segala sesuatu telah disiapkan di dalam juklak dan uknis sehingga tidak ada tempat untuk berfikir alternatif. Di samping itu, system pendidikan nasional juga telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (ibid, 18). Berdasar hal tersebut maka reformasi pendidikan hendaknya memberi tempat bagi pengembangan paradigma-paradigma baru untuk mencapai masyarakat madani yang demokratis. Masyarakat madani yang demokratis merupakan masyarakat yang terbuka di mana anggota-anggotanya sadar akan hakekat kemanusiaannya, yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan bukan berdasarkan paksaan dari sekelompok penguasa yang hanya bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri (ibid, 19).
Mengingat bahwa aspek pendidikan cakupannya sangat luas, maka reformasi pendidikan nasional seyogyanya berskala prioritas dan meliputi segala faktor-faktornya. Alexander dalam Bourne (1994 :20) menyatakan bahwa perubahan penyelenggaraan pendidikan akan ditentukan oleh faktor-faktor politik, budaya, konseptual, praktis dan hasil kajian empirik. Dengan demikian maka reformasi pendidikan jangka pendek perlu diprioritaskan kepada dihilangkannya hambatan teknis penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedangkan untuk jangka menengah perlunya penataan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya tujuan pendidikan dan masyarakat madani sehingga untuk jangka panjang maka sistem pendidikan nasional perlu menjamin pengembangan sumber daya manusia yang sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan hakekat keilmuan yang dikembangkannya, melestarikan dan mengembangkan terus menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Tilaar (1999 :22) menyatakan bahwa seyogyanya agenda reformasi pendidikan meliputi : (1)Pengikisan korupsi, kolusi, nepotisme dan koncoisme; (2) Melaksanakan asas profesionalisme; (3) Desenralisasi pengelolaan pendidikan dan isi kurikulum.; (4) Peningkatan mutu pendidikan dasar dan penunasan wajib belajar 9 tahun; Peningkatan mutu sekolah menengah umum dan kejuruan; (6) Peningkatan mutu dan otonomi pendidikan tinggi; (7) Pengembangan pendidikan alternatif; (8) Peningkatan mutu profesi guru; (9) Pembiayaan pendidikan yang demokratis; (10) Peraturan dan perundang-undangan; (11) Pemberdayaan subyek didik. “Clean educational system” perlu dikembangkan dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Organisasi dan personalia harus bersifat terbuka dan terbebas dari unsur KKN; pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan; lembaga Inspektorat Jenderal yang meliputi BPK, BPPK, dan Inspektorat Wilayah perlu direformasi.
Peningkatan profesionalisme dalam bidang pendidikan dapat dilakukan dengan mereformasi sistem penempatan tenaga eselon I dan II dengan tenaga-tenaga yang profesional berdasarkan criteria obyektif; perencanaan pengembangan karier disertai program kepelatihan; serta meninjau dan meredifinisi kembali fungsi unit pengembang dan pusat-pusat pendidikan/latihan seperti PPPG, BPG agar lebih bersifat adaptable dan fleksibel serta mengurangi sebanyak mungkin program-program pengembangan pendidikan yang berorientasi kepada “proyek”. Sejalan dengan peningkatan profesionalisme, maka desentralisasi pengelolaan pendidikan akan menjadi bagian yang menentukan bagi reformasi pendidikan. Desentralisasi pengelolaan pendidikan perlu mempertimbangkan akses-akses seperti potongan gaji guru, penempatan guru, pengembangan kurikulum, sumber ajar dan belajar, partisipasi dan sebagainya; untuk itu perlu adanya reformasi terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan semangat pembaharuan. Reformasi juga perlu dilakukan terhadap kurikulum 1994. Agar kurikulum dapat dilaksanakan secara lebih fleksibel dan mampu menangkap aspirasi daerah dan meningkatkan partisipasi maka kurikulum hendaknya bersifat ramping dengan kurikulum inti tidak lebih dari 30 % (Tilaar, 1999: 25). Reformasi perlu dilakukan untuk melepaskan terlalu banyaknya campur tangan birokrasi pemerintahan pusat terhadap pengelolaan sumber daya, dana dan partisipasi masyarakat. Segala bentuk dualisme pendidikan seperti negeri-swasta perlu dihilangkan dan diganti dengan semangat kooperasi atau kerja sama untuk mengoptimalkan segenap potensi yang ada. Lembaga-lembaga konsorsium pendidikan yang bersifat memonopoli ide dan gagasan juga perlu dihilangkan untuk digantikan dengan ikatan-ikatan profesi yang bersifat mandiri dan independen. Profesionalisme guru perlu ditingkatkan melalui program-program yang rasional dengan tidak menetapkan syarat-syarat terlalu rumit; pendekatan pengembangan profesionalisme guru hendaknya lebih bersifat akademis dan kompetensi bukan bersifat administrative birokratif seperti sekarang ini. Untuk itu pengembangan profesionalisme guru perlu ditangani secara professional pula oleh lembaga-lembaga yang berkompeten yaitu perguruan tinggi atau universitas. Pengembangan program kegiatan peningkatan profesionalisme guru di PPPG dan BPG harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesional akademis dan berlandaskan kepada prinsip-prinsip pengembangan sumber daya manusia.
Becher dan Maclure, (1978) menyebut 2(dua) macam kedudukan guru di dalam inovasi pembelajaran dikaitkan dengan pengembangan kurikulum. Pertama, di dalam kurikulum yang bersifat Instrumental, peran guru dinyatakan sebagai pelaksana kurikulum, dengan mengembangkan peran dominasinya terhadap pembelajaran matematika yang diselenggarakan dalam rangka mengantar para siswa untuk mencapai tujuan tertentu (memperoleh ijasah/mencari pekerjaan); dengan asumsi bahwa siswa (manusia) dapat di manipulasi/rekayasa dalam proses pendidikan. Kedua, di dalam kurikulum yang bersifat Interaktif/Individual, peran guru dinyatakan sebagai pengembang kurikulum, dengan mengembangkan fungsi guru sebagai melayani/fasilitator dan membantu kebutuhan belajar siswa; dengan asumsi bahwa siswa perlu diberi kesempatan untuk mengutarakan inisiatifnya dan menkonstruksi konsep matematika sesuai dengan kecepatan dan kesiapan masing-masing. Siswa mempunyai hak belajar.

Jenis-jenis Kurikulum
(Becher dan Maclure, 1978)

Pandangan
Tentang: Intrumental
Curriculum(Tradisional) Interactive
Curriculum (Progresif) Individualistic
Curriculum(Progresif)
Pengetahuan Pengetahuan identik dengan Paket Mata Pelajaran Problem Solving
(pemecahan dengan multi disiplin ilmu) Pengetahuan adalah bagian dari pengembangan diri
Tujuan Pendidikan Memperoleh Pekerjaan Sekolah sebagai Laboratorium Pengembangan Siswa Pendidikan merupakan kebutuhan
Struktur Kurikulum Sangat Terstruktur Kurang Terstruktur Tak terstruktur
Peran Guru di Kelas Peran guru di kelas bersifat mendominasi Guru sebagai Manager Guru sebagi Fasilitator
Peran Guru Dalam Pengemb. Kur Guru sebagai pelaksana Berpartisipasi Secara Aktif Sebagai pengembang
Sumber Belajar Kapur dan papan tulis Alat Peraga Lingkungan sekitar
Pengemb. Tek.
Evaluasi Prestasi belajar Assesment Individual case-histories
Hakekat Manusia Manusia dapat dididik dan dimanipulasi/rekayasa Manusia sebagai makhluk Sosial Manusia sebagai makhluk Individu
Hakekat Alam Semesta Dunia adalah yang tampak/nyata Dunia mengalami perubahan Dunia tak diketahui secara pasti


Di bidang anggaran, reformasi perlu dilakukan untuk meninjau kembali rencana pembiayaan berasal dari pemerintah agar diberi prioritas kepada gaji guru sekolah dasar, dan membebaskan orang tua dari sema biaya pendidikan dasar; untuk itu mobilisasi dana pemerintah (APBN dan APBD) untuk pendidikan dan kepelatihan sekurang-kurangnya 25% dari APBN; penggunaan dana harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan partisipasi masyarakat; dan dana pinjaman luar negeri harus lebih selektif dan diarahkan dan diprioritaskan kepada peningkatan kualtas mutu pendidikan dasar (ibid :27). Sistem administrasi kependidikan dari pusat ke daerah juga perlu direformasi agar dapat meningkatkan kinerja dan mendorong birokrasi professional; untuk itu maka reformasi hendaknya menjangkau bidang-bidang teknis, prosedur, struktur dan tingkah laku atau sikap. Administrasi kependidikan harus bersifat professional untuk melakukan fungsi regulatif dan penyelenggaran pelayanan publik dibidang pendidikan
Reformasi pendidikan pada level mikro berarti reformasi pendidikan pada tingkat praktik pembelajaran yang dilakukan di kelas-kelas sekolah oleh para guru. Kita dapat melakukan analisis sederhana berangkat dari kondisi faktual yang ada pada praktek pembelajaran. Di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, ketika bel dibunyikan sebagai tanda istirahat, maka serta merta para siswa kegirangan dan berebutan ke luar; ketika suatu hari diberitahu bahwa gurunya tidak dapat hadir karena sakit maka segenap siswa merasa senang dan lega dan mereka siap melakukan kegiatan yang bervariasi sesuai dengan seleranya masing-masing. Fenomena ini menurut pengamatan penulis terjadi hampir merata di seluruh Indonesia di semua jenjang pendidikan. Yang dapat ditarik kesimpulan dari fenomena ini adalah bahwa situasi dan kondisi kelas pembelajaran bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi subyek didik; lebih dari itu kelas seakan telah menjadi penjara-penjara bagi mereka dan guru seakan-akan adalah sipir-sipir penjara tersebut. Keadaan ini berangkai bagi guru terhadap sekolah dan kepala sekolahnya; ketika diberitahu bahwa kepala sekolah tidak hadir karena sakit maka dengan serta merta para guru dan karyawan merasa senang dan lega seakan mereka kemudian dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa terkontrol oleh kepala sekolahnya. Sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi para guru dan segenap sivitasnya.
Keadaan ini hanya sekian dari banyak hal yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita telah terjebak menjadi suatu sistem yang kaku di mana segala sesuatunya di tentukan oleh pusat dengan dalih kesamaan persepsi, kesatuan wadah, kesamaan tekad, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sistem pendidikan nasional kita dewasa ini telah menciptakan ketergantungan dan ketidak merdekaan bagi peserta didik. Oleh karena itu salah satu agenda reformasi pendidikan yang perlu di canangkan adalah bagaimana sistem pendidikan nasional mampu memerdekakan bangsa Indonesia dari bangsanya sendiri. Indonesia baru yang terbuka dan demokratis hanya dapat dicapai jika segenap komponen bangsa mempunyai jiwa kemandirian dan sikap merdeka, bersih dari sifat KKN dan mampu mengembangkan profesionalisme di bidangnya masing-masing. Reformasi pendidikan yang bermuara pada usaha peningkatan kualitas pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu pilar upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Secara nasional, pelaksanaan pendidikan perlu secara terus-menerus dikembangkan dengan memberi prioritas kepada usaha -usaha peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pengajaran merupakan faktor kunci bagi suksesnya pendidikan dasar karena usaha demiki-an berkaitan erat dengan peningkatan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasrana yang memadai, pembenahan kurikulum, dan penerapan teknologi kependidikan.
Jomtien (1994) menyatakan bahwa lebih dari dua dekade, ahli-ahli kependidikan telah menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung kepada kualitas guru dan praktek-praktek pengajarannya, sehingga peningkatan kualitas mengajar guru merupakan isue mendasar bagi peningkatan kualitas pendidikan secara nasional. Ke-mampuan guru yang langsung mempengaruhi kualitas pengajaran meliputi perencanaan dan pengelolaan waktu, memahami dan mencapai tujuan pengajaran, mengorganisasikan berbagai aktivitas pengajaran, memanfaatkan sumber-sumber ajar, memilih satu atau bebe-rapa metode atau pendekatan mengajar, dan memanfaatkan umpan balik yang diperoleh untuk memperbaiki atau menyempurnakan pengajaran berikutnya. Gaya mengajar yang direfleksikan oleh seorang guru, sekelompok guru ataupun komunitas guru pada suatu negara tertentu, dipengaruhi oleh banyak faktor. Fakor-faktor tersebut meliputi kemampuan guru itu sendiri, ketersediaan sumber-sumber ajar dan fasi-litas penunjang, serta kurikulum yang merupakan perwujudan dari suatu sistem pengajar-an/pendidikan yang dianut. Jadi mudahlah dipahami bahwa guru-guru diberbagai negara dengan sistem pendidikan yang berbeda, akan berbeda pula refleksi gaya mengajar mereka. Reformasi pendidikan pada level mikro dapat diukur seberapa jauh guru mampu bergeser dalam merefleksikan gaya mengajarnya dari ‘traditional’ menjadi lebih ‘progresif’.
Sementara, gambaran umum praktek pengajaran sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah peranan guru yang menonjol dalam menentukan segala aktivitas murid (teacher-directed); mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk memberikan (convey) informasi kepada siswa ( Jomtien,1994). Penelitian yang penulis lakukan (Marsigit, 1996) menunjukkan bahwa guru lebih banyak berfungsi sebagai pemberi perintah/instruksi, pertanyaan-pertanyaan, penjelasan dan tugas-tugas; murid kurang didorong untuk saling belajar antara satu dengan yang lainnya. Guru mengalami kesulitan dalam menangani kemampuan siswa yang berbeda-beda; mengalami kesulitan dalam menerapkan cara belajar siswa aktif; mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sumber ajar khususnya media atau alat-peraga. Faktor utama yang mempengaruhi gaya mengajar adalah beban guru dalam mengantar para siswanya untuk memperoleh hasil akhir sebaik-baiknya (Nilai Kenaikan Kelas, PraEbta, Ebta, atau Ebtanas) dan beban kurikulum untuk menyelesaikan target silabus yang telah ditetapkan.

2. Reformasi paradigma pendidikan

Siap atau tidak siap bangsa Indonesia dihadapkan kepada kenyataan bahwa era globalisasi menuntut peningkatan kualitas segenap komponen bangsa di berbagai bidang kehidupan. Naik turunnya pola atau kecenderungan isu kependidikan secara global sampai kepada kesimpulan bahwa era sekarang dan yang akan datang adalah era penguasaan ilmu, teknologi khususnya teknologi informatika dan komunikasi. Indonesia baru yang terbuka, demokratis dan bersatu harus dapat menempatkan diri ke dalam percaturan pergaulan dunia melalui kompetisi penguasaan teknologi informatika. Kecenderungan demikian akan berimplikasi kepada pola perilaku dan transformasi kehidupan masyarakat, sehingga paradigma pengembangan pendidikan mempunyai paling sedikit dua ujung yaitu mengejar ketertinggalan dan menyongsong masa depan. Mengejar ketertinggalan dan menyongsong masa depan, bagi bangsa Indonesia yang mempunyai penduduk sekitar 200 juta jiwa dengan berbagai latar belakang kelompok etnis, adalah suatu pekerjaan besar, yang oleh karena itu adalah tidak mungkin segala inisiatif kebijaksanaan kependidikan berada di tangan pusat. Otonomi daerah termasuk otonomi di bidang pendidikan sudah saatnya diimplementasikan secara jujur dan lugas; jangan hanya dijadikan isu politik untuk meredam gejolak daerah.
Teknologi informatika dan komunikasi berarti keterbukaan; dengan demikian maka transparansi, keterbukaan dan partisipasi akan menjadi isu dominan dalam pengembangan pendidikan. Transparansi, keterbukaan dan partisipasi akan memberikan segmen-segmen baru bagi aktivitas dan kegiatan masyarakat sekaligus penciptaan tenaga kerja oleh inisiatif masyarakat. Dengan demikian paradigma pendidikan harus memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuknya, pengembangan profesionalitas, manajemen terbuka, pendidikan seumur hidup, kesadaran belajar, keaneka ragaman ketrampilan dan kejujuran dalam berkompetisi. Perkembangan pendidikan secara global, ditandai dengan adanya pergeseran titik pusat pendidikan (pembelajaran) dari pendidik ke siterdidik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menempatkan sibelajar sebagai titik pusat (sentral) dalam pendidikan akan memberikan implikasi yang luas dan berbeda dibanding dengan menempatkan pendidik sebagai titik sentral. ‘Transfer of knowledge’ dari guru ke murid telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai dengan hakekat mendidik. Sebagai alternatifnya maka mulai dikembangkan paradigma baru yaitu ‘cognitive-development’ sebagai upaya untuk mengembangkan potensi sibelajar.
Dengan demikian peran guru juga mengalami pergeseran dari guru yang berfungsi sebagai pemberi ilmu menjadi berfungsi sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Sekolah perlu dikembangkan sebagai tempat multi-guna bagi pengembangan kebribadian subyek didik; dengan demikian paradigma persekolahan di waktu sekarang dan yang akan datang adalah bahwa sekolah merupakan laboratorium bagi berkiprahnya subyek didik untuk mengembangkan dirinya. Paradigma baru pengembangan pendidikan di Indonesia harus selalu dikaji dan diredefinisi agar bangsa Indonesia mempunyai kemampuan secara fleksibel dan dinamis untuk menyesuaikan keadaan di sekitar dan dapat memperkirakan kebijakan-kebijakan di masa mendatang. Belajar dari negara-negara Barat, maka pengembangan pendidikan di Indonesia dapat merefleksikan dirinya ke dalam kutup-kutup pola pengembangan pendidikan melalui kajian paradigma bidang : politik pendidikan, filsafat pendidikan, pandangan tentang keilmuan, nilai atau moral, teori kemasyarakatan, teori tentang subyek didik, kemampuan, evaluasi, sumber ajar/belajar, dan budaya. Interaksi dan komunikasi antar segmen bangsa akan memberikan perspektif ke depan tentang ke mana bangsa ini akan menuju.
Di dalam implementasi pembelajaran, maka akan tampak jelas perbedaan antara pendidikan yang belum inovatif (tradisional) dan pendidikan yang sudah inovatif (progresif). Perbedaan tersebut tampak seperti berikut:

Ciri Pembelajaran Tradisional Ciri Pembelajaran Progresif (Inovatif)

1. Bersifat Nasional (terpusat) 1. Mengadapsi ciri kedaerahan (otonomi)
2. Memberikan pendidikan otak 2. Memberikan pendidikan yang bulat
(jasmaniah, rokhaniah, social, emosional
dan juga intelektual)
3. Mengutamakan hafalan 3. Mendidik untuk memecahkan soal-soal
hidup
4. Pendidikan untuk anak-anak yang pandai 4. Untuk semua anak
5. Menyampaikan kebudayaan 5. Turut serta dalam pembudayaan
6. Siswa pasif (mendengar) 6. Siswa aktif
7. Pelajaran saling terpisah 7. Pelajaran dipadukan
8. Beroientasi kepada buku teks 8. Berorientasi kepada kehidupan
9. Menilai murid berdasarkan pekerjaan 9. Menggunakan bermacam-macam cara
untuk menilai murid
10. Pelajaran bersifat abstrak (ceramah) 10. Mengembangkan alat bantu mengajar
11. Pelajaran dengan klasikal 11. Kelompok/individual
12. Pelajaran bersifat formal 12. Tidak begitu formal
13. Materi yang sama untuk semua siswa 13. Materi sesuai dengan kebutuhan individu
14. Mengajar berisifat transmisi/transfer of 14. Murid menemukan dan membangun
knowledge struktur pengetahuan
15. Mendorong persaingan 15. Mendorong kerja-sama
16. Guru otoriter/mewajibkan 16 Kerjasama guru-murid-murid/kooperatif
17. Pendidikan uniformitas (penyeragaman) 17. Realitas hidup/mengakui perbedaan
18. Berorientasi kepada hasil 18. Hasil adalah juga termasuk prosesnya
19. Motivasi belajar bersifat eksternal 19. Motivasi belajar bersifat internal
20. Disiplin dan hukuman 20. Kesadaran dan tidak ada hukuman
21. Mencari jawaban benar 21. Jawaban salah bernilai pedagogis
22. Matematika sebagai ilmu kebenaran 22. Matematika sebagai proses berfikir
23. Pendidikan sebagai investasi 23. Pendidikan merupakan kebutuhan
24. Siswa sebagai empty vessel 24. Siswa perlu tumbuh dan berkembang
25. Metode mengajar tunggal 25. Metode mengajar barvariasi/fleksibel
26. Alat peraga sulit dikembangkan 26. Kreativitas guru dan lingkungan
bermanfaat untuk mengembangkan alat
peraga
27. Mengajar dengan tergesa-gesa 27. Sabar dan menunggu sampai siswa dapat
memahami konsep matematika

C. Menggalidan mengembangkan nilai-nilai matematika

Makna matematika merentang dari apa yang dipahami oleh Socrates, Plato, Immanuel Kant sampai filsafat kontemporer. Secara pragmatis, matematika dapat dipandang sebagai ilmu tentang dunia nyata dimana banyak konsep matematika muncul dari usaha manusia memecahkan persoalan dunia nyata misalnya pengukuran pada geometri, gerak benda pada kalkulus, perkiraan pada teori kemungkinan dll. Tetapi lebih dari itu, matematika juga digunakan untuk ilmu-ilmu lain, maka muncul pula istilah-istilah yang bersesuaian dengan ilmu-ilmu itu, misalnya yang berkaitan dengan mekanika, ilmu perbintangan, ilmu kimia, biologi dst. Kaum strukturalis mamandang matematika sebagai struktur yang bersifat abstrak yang tidak terkait dengan benda-benda fisik. Lambang-lambang yang digunakan di dalam struktur matematika juga tidak terkait dengan benda-benda fisik; lambang merupakan kesepakatan untuk menunjuk suatu makna atau arti, misal seperti yang terjadi pada struktur aljabar, teori group, teori ring, teori field, dst. Sementara itu metamatematika menggunakan bahasanya sendiri untuk menjelaskan matematika itu sendiri.

1. Pendekatan Ontologis Untuk Menjelaskan Matematika
Dalam kaitannya dengan matematika maka titik pangkal pendekatan ontologis adalah mencari pengertian menurut akar dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Namun kenyataan yang terdalam dari matematika itu sebenarnya apa? Apakah kenyataan matematika dimulai dari suatu titik nol, artinya suatu posisi di mana kita seakan-akan tidak mampu mendahului suatu posisi kenyataan matematika sebagai yang ada? Ataukah bahwa kenyataan matematika itu memang sudah tersedia yang senantiasa ada? Apakah kenyataan matematika bersifat actual atau factual? Pendekatan ontologis merupakan refleksi untuk menangkap kenyataan matematika sebagaimana kenyataan tersebut telah ditemukan. Dalam kesadaran akan dirinya maka orang yang memikirkan matematika adalah orang yang paling dekat dengan kenyataan matematika; dan dari sinilah maka dia dapat memulai untuk menemukan kenyataan seluruh matematika dan hubungan dirinya dengan matematika. Kenyataan matematika dapat dipahami seada-adanya dengan seluruh isi, kepadatan, otonomi dan potensi komunikasi baik secara material, formal, normatif maupun transenden. Kesadaran ontologis berusaha merefleksikan dan menginterpretasikan kenyataan matematika kemudian secara implisit menghadirkannya sebagai suatu pengetahuan yang berguna dalam pergaulan dengan orang lain serta secara eksplisit dapat dirumuskan dalam bentuk-bentuk formal untuk mendapatkan tema-tema yang bersesuaian.
Kenyataan matematika secara implisit telah termuat bersamaan dengan mengadanya pelaku matematika. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana merumuskan secara formal kenyataan matematika yang bersifat implisit itu? Kemudian disadari bahwa mengadanya diri merupakan latar belakang terakhir yang memuat segala kenyataan matematika secara menyeluruh menjadi satu visi tentang kenyataan matematika. Dengan demikian, pendekatan ontologis berusaha memikirkan kembali pemahaman paling dalam tentang kenyataan matematika yang telah termuat di dalam kenyataan diri dan pengalaman konkretnya. Meneliti dasar paling umum dari matematika merupakan cara berpikir filsafat sebagai awal dan akhir dari refleksi kenyataan matematika. Pendekatan ontologis bergerak diantara dua kutub yaitu pengalaman akan adanya kenyataan matematika yang konkret dan kenyataan matematika sebagai mengada; di mana masing-masing kutub saling menjelaskan satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan pengalaman tentang kenyataan matematika maka dapat disadari tentang hakekat mengada dari kenyataan matematika; tetapi mengadanya kenyataan matematika akan memberikan pengalaman konkret bagi diri tentang hakekat kenyataan matematika. Oleh karena itu pendekatan ontologis dalam memahami kenyataan matematika merupakan lingkaran hermenitik antara pengalaman dan mengada tanpa bisa dikatakan mana yang lebih dahulu. Pertangungan ontologis tidak dapat diberikan di muka melainkan akan tampak melalui uraian ontologis itu sendiri, artinya kajian matematika secara ontologis tidak dapat dimulai dengan cara menentukan definisi-definisi atau teorema-teorema tentang kenyataan dasar matematika karena hal demikian akan mempersempit batas-batas pemikiran dan dengan demikian akan menutup jalan pemikiran yang lain. Jadi penjelasan ontologis tentang kenyataan matematika hanya dapat ditampakan sambil menjalankan ontologi matematika sebagai suatu cabang filsafat matematika.

2. Pendekatan Epistemologis Untuk Menjelaskan Matematika

Pertanyaan epistemologis dapat diajukan misal dapatkah kita mendefinisikan matematika? Mendefinisikan berarti mengungkapkan sesuatu dengan ungkapan yang lain yang lebih dimengerti. Maka ketika kita berusaha mendefinisikan kita akan menjumpai “infinit regres” yaitu penjelasan tiada akhir dari pengertian yang dimaksud. Tentulah hal ini tidak mungkin dilakukan. Jika kita menginginkan dapat memperoleh pengetahuan tentang “hakekat matematika” maka pengetahuan demikian bersifat paling sederhana dan paling mendasar (sui generis). Pengetahuan matematika yang demikian tidak dapat disederhanakan lagi dan tidak dapat dijelaskan mengunakan ungkapan lainnya. Oleh karena itu pendekatan epistemologis perlu dikembangkan agar kita dapat mengetahui kedudukan matematika di dalam konteks keilmuan. Salah satu cara adalah dengan menggunakan bahasa “analog”. Dengan pendekatan ini maka kita mempunyai pemikiran bahwa “ada” nya matematika bersifat “analog” dengan “ada” nya obyek-obyek lain di dalam kajian filsafat. Jika pengetahuan yang lain kita sebut “ide” dan berada di dalam pikiran kita, maka matematika juga dapat dipadang sebagai “ide” yang berada di dalam pikiran kita. Jika kita berpikir suatu pengetahuan sebagai bentuk “kebahasaan” maka kita juga dapat berpikir bahwa matematika merupakan bentuk “kebahasaan”. Jadi pemikiran kita tentang filsafat umum bersifat “isomorphis” dengan pemikiran kita tentang Filsafat Matematika dan juga filsafat-filsafat ilmu yang lainnya. Dengan kata lain, kedudukan matematika bersifat “isomorphis” dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain di dalam kajian filsafat.
Pertanyaan berikutnya adalah seberapa jauh peran pertimbangan subyek di dalam usahanya untuk menjelaskan konsep-konsep matematika; dan bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pertimbangan demikian bersifat benar atau tidak? Apakah pertimbangan-pertimbangan demikian memerlukan “eviden” atau tidak. Jika “ya” maka apa sebetulnya yang disebut eviden atau eviden matematika? Dari pertanyaan-pertanyaan ini jelas kita telah menemukan jarak antara pertimbangan dan eviden. Immanuel Kant menjelaskan bahwa pengetahuan kita pada umumnya dan juga pengetahuan tentang matematika merupakan pertemuan antara pengetahuan yang bersifat “superserve” dan pengetahuan yang bersifat “subserve”. Pengetahuan matematika yang bersifat subserve berasal dari eviden; sedangkan pengetahuan matematika yang bersifat superserve berasal dari imanensi di dalam pikiran kita. Menurut Kant, pertimbangan adalah tahap terakhir dari proses berpikir; tahap terakhir inilah yang menghasilkan pengetahuan. Jadi Kant ingin mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang pertimbangan itu sendiri.
Menurut Immanuel Kant, awal dari pengetahuan matematika adalah “kesadaran tentang makna matematika”. Kesadaran demikian dianggap sebagai wadah dari kenyataan matematika. Kesadaran matematika selalu bersifat bi-polar yaitu sadar akan makna matematika. Kesadaran itu berada di akal budi kita “reason”. Maka bila kenyataan matematika berada di dalam kesadaranku, maka pengetahuan matematika telah berada di dalam akal budiku. Maka terdapat jarak antara isi yaitu kenyataan matematika dan wadah yaitu akal budiku. Di dalam jarak itulah terdapat intusi “ruang” dan “waktu”. Jadi pengetahuanku tentang matematika berada di dalam intuisi ruang dan waktu. Seorang eksistensialis mungkin kemudian meragukan tentang pengetahuan matematika disebabkan meragukan eksistensi dirinya sendiri. Menurutnya pengetahuan selalu dikondisikan oleh eksistensi pelakunya. Maka jika berbicara mengenai matematika yang nyata maka apa pula yang nyata untuk dirinya. Eksistensialis berpandangan bahwa eksistensi dirinya bersifat terbuka terhadap dunia dan dunia dapat diungkapkan melalui pertanyaan. Jadi aku adalah pertanyaanku dan matematika adalah pertanyaanku tentang dianya di dalam diriku. Pertanyaan selanjutnya bagaimanakah kesadaran diriku bisa menggapai kenyataan matematika? Bagaimana aku bisa membuktikan keyakinanku bahwa aku dapat mengetahui kenyataan matematika sebagai kenyataan yang lain dariku? Apakah kesadaranku tentang yang lain dapat dibedakan dari kesadaranku tentang kenyataan matematika?
“Pure Reason” sebagai akal budi yang murni telah dibahas panjang lebar oleh Immanuelm Kant sebagai upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika kita memulai dengan akal budi yang murni yaitu akal budi yang masih bersih dan terbebas dari segala macam beban kesadaran maka kita dihadapkan pada pertanyaan awal tentang hakekat matematika; tetapi jika kita memulai dengan akal budi yang tidak murni maka kita langsung terlibat dengan kesadaran yang lainnya selain kesadaran tentang kenyataan matematika. Dari kontradiksi ini maka dirasakan perlunya terdapat solusi. Di satu sisi akal budi yang murni akan menghasilkan kesadaran tentang kenyataan matematika, yaitu sebagai kenyatan yang bersifat “a priori” namun di sisi yang lain kita memerlukan “eviden” yang berasal dari pengalaman manusia yang menghasilkan kenyataan matematika sebagai kenyataan “sintetik”. Jadi adanya kenyataan matematika di dalam akal budi kita tidak bisa kita lepaskan dari adanya eviden dari pengalaman kita. Benarlah bahwa menurut Immanueal Kant, kenyataan matematika bersifat “sintetik a priori”.
Seorang realisme naif akan merasa aman dengan pandangan umum bahwa matematika berada di luar dirinya baik ketika matematika ditampilkan kepada dirinya melalui persepsi inderawi ataupun ketika tidak ditampilkan sekalipun. Matematika yang ditampilkan oleh orang lain ada persis, di sana, di luar dirinya yang dapat diulang dan dapat dipikirkan oleh orang lain. Matematika yang ditampilkan dialami begitu saja, tidak ada kaitan dengan kualitas dan keadaan dirinya serta tidak memerlukan pemikiran refleksif dan tidak perlu dipermasalahkan keberadaannya yang ada di sana, di luar dirinya. Matematika adalah benda di luar dirinya; saya berhadapan dengannya. Matematika sebagai benda dapat merupakan syarat dan rintangan bagi tindakan saya. Tindakan-tindakan saya dapat tidak sesuai dengan matematika yang ada di sana dan saya dapat melakukan resistensi atau penolakan terhadap sifat-sifat matematika yang ada di sana; dan saya mengakui keberadaan matematika di sana yang bersifat obyektif yaitu benar bagi semuanya.
Tetapi ketika kita harus menentukan dan menjawab sifat-sifat dasar apakah yang dapat diungkapkan dari kenyataan matematika yang ada di sana, maka kaum realisme naif akan mundur selangkah karena jawabannya akan melibatkan sifat-sifat yang melekat pada keberadaan dirinya yang ada di sini. Saya terpaksa harus membedakan antara kenyataan diri saya yang ada di sini dengan kenyataan matematika yang ada di sana. Inilah awal dari kesadaran refleksif seorang realisme naif yang diingatkan oleh seorang John Locke bahwa matematika yang dianggap berada di sana tidak lain adalah sebuah ide yang berada di sini yaitu yang berada di dalam pikiran subyek. Bahkan Berkeley menyatakan bahwa eksistensi matematika tidak dapat dipahami kecuali dengan ide-ide; pengalaman selalu berakhir di dalam ide-ide. Semua hal yang dianggap bereksistensi adalah apa yang kita alami secara langsung; satu-satunya arti bagi ada adalah yang ditangkap dengan persepsi “esse est percipi”. Maka keberadaan matematika sebagai obyek tergantung dari keberadaanku sebagai budi.

3. Pendekatan Aksiologis Untuk Menjelaskan Matematika

Pendekatan aksiologis mempelajari secara filosofis hakekat nilai atau value dari matematika. Apakah matematika sebagai kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai matematika bersifat pragmatis atau semantik? Apakah nilai matematika bersifat subyektif atau obyektif? Apakah nilai matematika bersifat hakiki atau sementara? Apakah nilai matematika bersifat bebas atau tergantung? Apakah nilai matematika bersifat tunggal atau jamak? Apakah terdapat unsur keindahan di dalam kenyataan matematika, dan bagaimana hubungan kenyataan matematika dengan seni? Adakah tanggung jawab diri terhadap kenyataan matematika? Penyelidikan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam kenyataan matematika telah lakukan sejak filsafat kontemporer.
Menurut Hartman, nilai adalah fenomena atau konsep; nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau konsep itu sampai kepada makna atau arti. Menurutnya, nilai matematika paling sedikit memuat empat dimensi: matematika mempunyai nilai karena maknanya, matematika mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai karena tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya. Tiap-tiap dimensi nilai matematika tersebut selalu terkait dengan sifat nilai yang bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik. Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik; jika dia bisa menerapkan matematika untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuanmatematika bersifat ekstrinsik; dan jika dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat matematika maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik.
Kita dapat menggambarkan hirarkhi nilai matematika seseorang dengandiagram sederhana sebagai berikut:
Jika S adalah nilai matematika yang bersifat sistemik maka tentu akan memuat
nilai matematika yang bersifat ekstrinsik (E) maka S memuat E, atau dapat
ditulis secara matematis S  E.
Setiap nilai ekstrinsik matematika pastilah didukung oleh nilai intrinsiknya (I),
jadi nilai ekstrinsik memuat nilai intrinsik, dan dapat ditulis secara matematis
sebagai E  I.
Akhirnya hubungan antara ketiga nilai dapat digambarkan sebagai: S  E  I,
artinya, S memuat E memuat I.
Menurut Moore di dalam Hartman, nilai matematika dapat digunakan untuk mengembangkan pertimbangan mengenai kapasitas matematika. Pertimbangan demikian bukanlah untuk mengetahui bagaimana seseorang memikirkan matematika atau apa yang seseorang pikirkan tetapi untuk mengetahui mengapa seseorang memikirkan matematika. Pertimbangan demikian akhirnya mengarah kepada refleksi pemikiran tentang dasar-dasar dan filsafat matematika. Pertanyaan kemudian muncul bagaimanakah tentang sifat dari nilai matematika itu? Apakah nilai matematika bersifat obyektif atau subyektif? Apakah nilai matematika terikat dengan dengan latar belakang diri, sosial, agama, suku bangsa?
Hubungan antara nilai intrinsik, ekstrinsik dan sistemik dapat diadaptasi dari diagram yang dibuat oleh Ernest, P. (1991) seperti tampak sebagai berikut:













Interaksi sosial diantara para matematikawan dapat memberi kesempatan untuk memproduksi tesis dan anti-tesis konsep matematika; dan hal yang demikian dapat terjadi adanya de-konstruksi konsep kenyataan matematika dan dilanjutkan dengan de-konstruksi nilai instrinsik matematika. Dengan demikian tampak hubunga nilai matematika yang bersifat subyektif dan nilai matematika yang bersifat obyektif. Jadi interakso sosial diperlukan agar diri dapat memperoleh nilai extrinsik atau nilai sistemik.

D. Menuju standar internasional

Apapun tentang standard, kita dapat memikirkannya tentang pencapaian hasil dibandingkan dengan hasil lain yang serumpun atau sejenis, atau disisi lain suatu proses dimana nilai-nilai awal merupakan pondasi sekaligus kekuatan untuk memperoleh standar. Terdapat berbagai macam kriteria mengenai standar internasional. Dalam bidang pendidikan maka baik standar nasional maupun standar internasional dapat dikembangkan melalui ranah kurikulum dan silabus, kemampuan pendidikan, kesiapan fasilitas pendukung, buku-buku penunjang, bahasa pengantar (Bahasa Inggris), kerjasama nasional dan internasional, pengakuan dari institusi-institusi terpercaya, jumlah dan kualitas lulusan, dst. Namun apakah hanya tentang hal-hal tersebut di atas itulah tentang standard internasional. Paling tidak kita dapat menelaah stantad internasional dari sisi legalitas dan dari sisi substantial. Dari sisi legalitas memang sangat diperlukan pengakuan dunia tentang suatu institusi kependidikan tertentu. Tetapi pengakuan tersebut tidaklah mungkin dapat dicapai jika tidak dibarengi dengan kemampuan substantial. Hal-hal yang melandasi kemampuan substantial meliputi: reformasi paradigma, pandanga tentang hakekat matematika, hakekat matematika sekolah, hakekat siswa belajar matematika, hakekat metode pembelajaran, hakekat sumber-sumber ajar, hakekat asesment, dst. Narasi besar internasional dalam bidang pendidikan matematika adalah pembelajaran yang demokratis, pemberdayaan siswa (student oriented), variasi metode, variasi kegiatan, pembelajaran yang fleksibel, terbebas dari isue HAM,gender,lingkungan dst. Standar internasional pembelajaran matematika menuntut metode pembelajaran yang fleksibel antara lain : metode eksposisi oleh guru; metode diskusi, antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid; metode pemecahan masalah (problem solving); metode penemuan(investigasi); metode latihan dasar ketrampilan dan prinsip-prinsip; metode penerapan.
Berikut merupaka rambu-rambu apakah sustu institusi dapat mencapai kriteria internasional

• Tersedianya kriteria acuan internasional
• Tersosialisasinya kriteria acuan internasional
• Adanya Rencana Strategis pengembangan berstandar internasional
• Terbentuknya berstandar internasional sesuai kriteria
• Terselenggaranya berstandar internasional
• Diterbitkannya hasil Monev pelaksanaan berstandar internasional
• Diperolehnya bechmarking kurikulum berstandar internasional
• Tersedianya rambu-rambu pengembangan kurikulum internasional tingkat universitas
• Tersosialisasikannya rambu-rambu pengembangan kurikulum internasional tingkat universitas
• Tersedianya dokumen kurikulum berstandar internasional
• Tersedianya dokumen silabus berstandar internasional
• Diimplementasikannya kurikulum berstandar internasional
• Dilakukannya monitoring dan evalusi implementasi kurikulum berstandar internasional
• Dilakukannya dan diterbitkannya hasil evaluasi rambu-rambu pengembangan kurikulum internasional tingkat universitas
• Dilakukanya revisi kurikulum dan silabus berstandar internasional
• Tersedianya panduan setting kelas berstandar internasional
• Tersedianya panduan pengembangan pembelajaran berstandar internasional
• Terlaksananya kegiatan training/pelatihan bagi tenaga pendidik untuk inovasi atau update metode dan model pembelajaran.
• Terlaksananya training atau kursus untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris para tenaga pendidik (TOEFL, IELTS, Academic Skill writing)
• Tersedianya fasilitas dan berbagai macam media pembelajaran untuk mendukung pbm berstandar internasional
• Tersedianya panduan pembimbingan subyek didik kelas internasional yang meliputi hak dan kewajiban pembimbing, hak dan kewajiban subyek didik serta layanan bimbingan konseling belajar
• Tersedianya panduan praktikum di kampus bagi subyek didik kelas internasional.
• Adanya kerjasama internasional bagi para tenaga pendidik kelas internasional untuk meningkatkan kemampuannya.
• Tersedianya panduan manajemen kelas dan lingkungan belajar yang efektif dan efisien
• Adanya instrumen/alat ukur standar untuk mengevaluasi proses belajar mengajar di setiap
• Tersedianya hasil benchmarking pengembangan sistem penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Tersedianya rambu-rambu pengembangan sistem penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Tersedianya instrumen penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Diimplementasikannya penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Dilakukannya validasi dan benchmarking lanjut instrumen penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Dilakukannya dan tersedianya hasil monitoring implementasi penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional
• Dipublikasikannya hasil pengembangan sistem dan hasil penilaian hasil belajar subyek didik kelas internasional untuk mewujudkan akuntabilitas INSTITUSI
• Perencanaanbahan ajar bertaraf internasional
• Penulisan bahan ajar bertaraf internasional
• Penggandaan bahan ajar bertaraf internasional
• Media elektronik bertaraf internasional
• Media cetak bertaraf internasional
• Tersedianya Rambu-rambu Pengembangan Tenaga pendidik
• Tersosialisasikannya Rambu-rambu Pengembangan Tenaga pendidik
• Tersusunnya Peta Pengembangan dan Bidang Keahlian Tenaga pendidik
• Minimal 50 tenaga pendidik mampu berbahasa Asing/Inggris sehingga memenuhi syarat untuk Magang/Sabatical Leave/studi lanjut ke luar negeri
• Terkirimnya 12 orang tenaga pendidik/tahun untuk Magang/Sabatical Leave/studi lanjut ke luar negeri
• Tersedianya rambu-rambu sarana dan prasarana
• Tersosialisasikannya rambu-rambu sarana dan prasarana
• Tersedianya kelas teori dan kelas praktek yang nyaman dan memungkinkan kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik
• Tersedianya laboratorium yang dapat digunakan oleh subyek didik dan tenaga pendidik untuk pengembangan ilmu kependidikan
• Tersedianya perpustakaan yang merupakan pusat informasi yang di dalamnya tersedia berbagai alat informasi untuk menunjang kelancaran akademik.( buku wajib, referensi, majalah, surat kabar dalam dan luar negeri, buletin, skripsi, tesis, desertasi, book counter)
• Tersedianya ruang khusus yang dapat digunakan oleh subyek didik untuk mengembangkan kreativitasnya.
• Dikembangkan dan diimplementasikan secara efektif dan berkesinambungan
• Sistem Data Base dalam menunjang tata kelola INSTITUSI
• Dikembangkan dan diimplementasikan secara efektif dan berkesinambungan
• Standard Operational Procedure (SOP) dalam menunjang tata kelola INSTITUSI
• Dikembangkan dan diimplementasikan secara efektif dan berkesinambungan
• Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam bentuk Website
• Dikembangkan dan diimplementasikan secara efektif dan berkesinambungan
• Learning Management System (LMS)
• Diterapkannya ISO 9001-2000 untuk menunjang tata kelola INSTITUSI
• Tersedianya rambu-rambu pengembangan perpustakaan berstandar internasional di tingkat universitas dan fakultas
• Tersosialisasikannya rambu-rambu pengembangan perpustakaan berstandar internasional di tingkat universitas dan fakultas
• Pustakawan dan tenaga administrasi yang menguasai dan terampil menggunakan ITC perpustakaan
• Sarana dan prasarana layanan perpustakaan yang tertata dan memadai untuk layanan internasional.
• Tersedianya koleksi perpustakaan yang lengkap, mutakhir, yang memiliki aksesabilitas tinggi secara online.
• Kualitas layanan perpustakaan yang makin meningkat di level internasional.
• Terwujudnya sistem komunikasi dan pemasaran perpustakaan yang mantap di kawasan internasional.
• Terimplementasikannya perpustakaan berstandar internasional di tingkat universitas dan fakultas
• Terlaksananya Monitoring dan Evalusi Implementasi perpustakaan berstandar internasional di tingkat universitas dan fakultas
• Adanya sistem seleksi penerimaan subyek didik untuk program internasional.
• Terselenggaranya program-program pengembanagan kompetensi akademik mahasswa menuju INSTITUSI
• Terselenggaranya program-program pengembangan kompetensi sikap dan kepribadian subyek didik menuju INSTITUSI
• Terselenggaranya program program pengembangan bakat dan hobi subyek didik menuju INSTITUSI
• Subyek didik dan lulusan dengan kompetensi akademik yang diakui oleh dunia internasional.
• Lulusan dengan sikap dan kepribadian sosial dan profesional yang berterima dalam masyarakat interasional.
• subyek didik dan lulusan dengan kemampuan dan prestasi seni, olahraga, dan lainnya yang dikenal oleh masyarakat internasional (internationally recognized)
• Lulusan yang unggul dan berterima serta mempunyai posisi tawar (bargaining position) di pasar kerja intrenasional.
• Dilakukan dan tersedianya hasil benchmarking kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah berstandar internasional
• Tersedianya rambu-rambu pengembangan kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah berstandar internasional
• Meningkatnya jumlah tenaga pendidik yang berkualifikasi internasional dalam melakukan kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah
• Dilakukannya kegiatan penelitian dan publikasi ilmiah berstandar internasional
• Adanya kerjasama dan networking dengan konsorsium, organisasi profesi dan institusi internasional dalam pengembangan kegiatan penelitian dan kegiatan ilmiah berstandar internasional.
• Meningkatnya jumlah hasil penelitian dan kegiatan ilmiah berstandar internasional yang termuat di dalam Jurnal/Publikasi ilmiah.
• Tersedianya rambu-rambu pelaksanaan pengabdian pada masyarakat berstandar internasional
• Tersosialisasinya rambu-rambu pelaksanaan pengabdian pada masyarakat berstandar internasional
• Tersedianya dokumen pelaksanaan pengabdian pada masyarakat berstandar internasional
• Terjalinnya kemitraan dalam pelaksanaan pengabdian pada masyarakat dengan lembaga lokal dan internasional.
• Diimplementasikannya pelaksanaan pengabdian pada masyarakat berstandar Internasional
• Terjalin kerjasama dengan berbagai institusi kependidikan di luar negeri
• Pengiriman/pertukaran tenaga pendidik dari dan ke luar negeri
• Pengiriman/pertukaran subyek didik dari dan ke luar negeri
• Pengiriman karyawan ke luar negeri
• Terselenggaranya pameran karya dan produk di luar negeri


E. Kesimpulan

Reformasi pendidikan nasional dapat dilakukan pada dua level yaitu secara makro dan secara mikro. Secara makro, reformasi pendidikan nasional harus dapat memperbaharui visi dan mengembangkan paradigma kependidikan serta mengikis habis kendala-kendala penyelenggaraan pendidikan dengan tetap mempertahankan dan meningkatkan mutu dan profesionalisme dan pemberdayaan masyarakat menuju Indonesia Baru yaitu Indonesia yang terbuka, demokratis dan bersatu. Bagi seorang praktisi kependidikan (guru), reformasi pendidikan pada level makro untuk bebera hal adalah di luar jangkauan pemikirannya dan kemampuannya. Namun mengingat guru adalah penentu keberhasilan pendidikan, maka guru dapat berperan obyek sekaligus subyek dari reformasi pendidikan dengan cara meningkatkan kemampuan mendidik dan mengelola kelas. Tetapi kenyataanya mendidik tidaklah mudah karena siswa mendapatkan bahwa belajar memang tidaklah mudah. Masih terdapat celah yang cukup besar antara idealisme mendidik dan praktek di lapangan.
Nilai matematika dapat dilihat dari konteks ontologis, epistemologis dan aksiologis dalam batas-batas nilai intrinsik, extrinsik dan sistemik. Bagi seorang diri pebelajar matematika maka nilai matematika yang paling rendah adalah jika hanya digunakan sendiri, nilai yang lebih tinggi jika matematika dapat digunakan untuk kepentingan umum. Tetapi nilai matematika tertinggi adalah jika secara sistemik dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas. Tetapi nilai-nilai matematika yang dikembangkan harus dibarengi dengan berpikir kritis karena matematika tidak lain tidak bukan adalah berpikir kritis itu sendiri. Ketajaman matematika mampu menerawang masa depan melalui konsep teleologi bahwa apa yang terjadi di masa depan setidaknya dapat dipotret melalui masa sekarang. Namun demikian masih terdapat nilai-nilai yang lain yang kaitannya dengan tingkatan kualitas. Pada kualitas pertama maka nilai matematika hanya tampak pada sisi luarnya saja, tetapi pada kualitas kedua dan ketiga dan seterusnya maka nilai matematika sudah bersifat metafisik. Dengan berpikir analog maka apa yang terjadi pada pengungkapan nilai matematika dapat digunakan pula pada pengungkapan nilai-nilai luhur bangsa. Nilai luhur bangsadapat digapai kembali tidak lain tidak bukan hanyalah dengan metode menterjemahkan dan diterjemahkan dari konteks perjalanan waktu lampau, sekarang dan akan datang. Inilah yang kemudian dikenal orang dengan metode hermenitika.
Dalam bidang pendidikan, guru perlu secara terus menerus mengevaluasi kekurangan atau kelebihan mengajarnya supaya mendapatkan informasi bagi penyempurnaan mengajarnya; kalau perlu mempelajari teknik-teknik baru yang lebih menarik dan efektif (Alexander, dkk, dalam Bourne, 1992). Untuk itu guru perlu mendapat dorongan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait terutama Kepala Sekolah dan Penilik sekolah, agar mereka dapat mewujudkan pengajaran secara baik; namun perlu kiranya peran dan fungsi Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas diredefinisikan kembali agar kondisi lingkungan kependidikan lebih kondusif bagi guru dan siswa untuk mengembangkan dirinya. Seorang guru dapat merefleksikan gaya mengajar secara baik dan fleksibel jika guru yang bersangkutan menguasai cara-cara mengorganisasikan kelas, memanfaatkan sumber ajar, pencapaian tujuan pengajaran sesuai dengan kemampuan siswa, pengembangan sistem evaluasi, penanganan perbedaan individual, dan mewujudkan suatu gaya mengajar tertentu sesuai dengan kebutuhan. Diperlukan suatu ‘political will’ dari pemerintah untuk menempatkan pendidikan yang dikembalikan kepada hakekat ‘mendidik’ sesuai dengan hakekat ‘subjek didik’ dan hakekat ‘keilmuan’, agar pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang ‘diwajibkan’ tetapi sesuatu yang ‘dibutuhkan’ oleh sibelajar, agar pendidikan tidak hanya memandang subyek didik sebagai ‘investasi’ pembangunan tetapi sebagai subyek yang perlu ‘dikembangkan’.





Daftar Pustaka

Bourne, J., 1(994), Thinking Through Primary Practice, London : Routledge
Delamont, S., (1987), The Primary School Teacher, London: The Falmer Press.
Dunbar, R, (1991), Distance Education, Vol 12 Number 2
Fullan, M.G., (1991), The New Meaning of Educational Change, London : Cassell Educational Limited
Grouws, A.D. dan Cooney, J.T, (1988), Effective Mathematics Teaching: Volume I, Virginia: The NCTM, Inc.
Jaworski, B., (1994), Investigating Mathematics Teaching: A Constructivist Enquiry, London: The Falmer Press.
Jomtien, B, (1994), Implementing Primary Education for All, London: The Macmillan Press Ltd.
Marsigit, (1966), Investigating Good Practice In Primary Mathematics Education: Case- studies and Survey of Indonesian Styles of Primary Mathematics Teaching, Dissertation.
Susanta, A.S, (1997), Komunikasi dan Budaya, Jurnal 9 dan 10
Tilaar, H.A.R, (1999), Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional : Dalam Perspektif Abad 21, Magelang : Tiara Indonesia
Bourne, J., 1994, Thingking Through Primary Practice, London: The Open University.
Brady, L., 1992, Curriculum development. (4th ed.) New York: Prentice-Hall.
Direktorat PLP,2002, Pendekatankontekstual(Contextual teaching and learning(CTL)), Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas
Ebbut, s. & Straker, A 1995, Children and mathematics: Mathematic in primary school, Part 1. London: Collins Educational
Elliot, J., 1991, Action Research for Educational Change, Philadelpia : Open University Press.
Ernest, P, 1991, The philosophy of mathematics education. London: The Falmer Press.
Gronlund, N.E., 1976, Measurement & Evaluation in Teaching, New York: Macmillan publishing Co., Inc.
Grouws, D.A, 1992, Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning,
New York : Macmillan Publishing Company.
Hopkins, D., 1993, A Teacher’s Guide to Classroom Research, Buckingham: Open University Press.
Jarworski, B, 1994, Investigating mathematics teaching : A constructivist enquiry. London : The Falmer Press.
Marsigit, 1996, Investigating Good Practice in Primary Mathematics Education: Case- Studie and Survey of Indonesian Styles of Primary Mathematics Teaching,
London : University of London.
Nasution, S, 1992, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito.
Proctor, A., dkk, 1995, Learning to Teach in the Primary Classroom, London : Routledge
Weil, M dan Joice B, 1978, Social Models of Teaching, New Jersey : Prentice Hall

No comments: